Suara Pelajar Belum di Dengar
Suara atau pendapat pelajar masih belum didengar dalam menyelesaikan
kasus kekerasan, bullying, dan tawuran yang terjadi di kalangan pelajar.
Solusi hanya dilihat dari kaca-mata orang dewasa. Akibatnya, solusi
yang diambil sering kali tidak sesuai dengan kondisi pelajar.
Demikian terungkap dalam diskusi serta peluncuran buku tentang
kekerasan di kalangan pelajar di Yogyakarta, akhir pekan lalu. Berbagai
pengalaman remaja terkait kekerasan itu tertuang dalam sembilan tulisan
yang ditulis sembilan pelajar di Yogyakarta dalam buku elektronik
(e-book) Anak Muda Jogja, Apa Ceritamu? yang diterbitkan Yayasan Kampung
Halaman bersama Kementerian Pemuda dan Olahraga. Bersamaan dengan
peluncuran buku itu diselenggarakan diskusi bertema ”Kekerasan di Dunia
Remaja”.
Direktur Yayasan Kampung Halaman Cicilia Maharani mengatakan,
kekerasan yang melibatkan remaja baik sebagai korban maupun pelaku
selalu terjadi dengan kemasan yang berbeda-beda. Hampir setiap remaja
memiliki pengalaman atau setidaknya pernah menyaksikan atau mengetahui
adanya tindak kekerasan seperti dalam bentuk tawuran. Hanya saja, selama
ini belum banyak remaja khususnya pelajar yang berani dan memiliki
kesempatan menyuarakan pendapat.
Dalam diskusi, para pelajar mengemukakan pengalamannya. Mahardika,
pelajar SMAN 1 Galur, Kulon Progo, menceritakan penyebab tawuran kerap
hanya masalah sepele.
Salah seorang siswa SMAN 6 Yogyakarta, Wahar, menceritakan pengalaman
sekolahnya yang kerap tawuran dengan sekolah lain sebelum tahun 2005.
Namun, mulai 2005 sekolah membuat kebijakan baru sterilisasi sekolah dan
pembatasan kegiatan ekstrakurikuler siswa hingga pukul 16.00.
Endang, guru seni budaya SMAN 6 Yogyakarta, menjelaskan, oknum
alumnus juga ada yang mendekati siswa. ”Untuk mengatasi tawuran, akses
masuk ke sekolah dibatasi supaya tidak ada yang memengaruhi siswa,” kata
Endang yang menjadi pembina organisasi siswa intra sekolah (OSIS) tahun
1994-2010 itu. (LUK)
Komentar
Posting Komentar